The place called home, where love and peace collide. Sort of. Rumah menjadi salah satu tempat favorit saya untuk pulang. Rasanya sangat melegakan melihat wajah orang yang kita sayangi sumringah atas kehadiran kita, meskipun mereka sedang tidak dalam kondisi yang sehat.
Saya masih ingat hari itu, hari ke sembilan bulan ke dua tahun ini. Saya berdiri mengenakan ransel di sudut terminal. Sendiri menanti bus yang akan membawa saya pergi meninggalkan Kota Malang sejenak. Saya melirik jam tangan yang telah menunjukkan pukul 7.30 pagi. Sesaat kemudian bus saya pun datang. Saya bergegas naik dan mencari tempat ternyaman. Bangku kiri dekat jendela.
Tepat setengah jam setelah saya duduk, bus pun melaju. Meninggalkan segala hiruk pikuk kota. Berpindah dari satu kode pos ke kode pos lainnya. Pikiran saya melayang jauh. Membayangkan lamanya perjalanan yang akan saya tempuh. 4 jam ke arah timur. Kemudian nanti akan dilanjutkan dengan 5 jam ke arah utara.
“Mbak, nanti jangan lama-lama. Langsung pulang pokoknya.” Begitu bunyi sms yang tiba-tiba mampir di hape saya. Sebuah pengingat pesan dari DA. Saya tersenyum membacanya dan segera memasukkan lagi telepon genggam saya ke dalam saku. Saya tidak ingin meluangkan waktu dengan telepon genggam saya kali ini. Saya hanya ingin menikmati perjalanan. Ah tapi nampaknya perjalanan kali ini tidaklah begitu mengesankan, mengingat saya sudah sering melewati jalur ini.
“Saya turun di pertigaan depan pasar ya pak.” ujar saya kepada Supir Bus. Perjalanan kali ini ternyata lebih cepat daripada yang saya bayangkan. Tak pernah saya menyangka kalau saya sudah sampai di pemberhentian pertama sebelum jam 12 siang. Sudah terbayang dengan panasnya daerah tersebut, eh saya malah disambut dengan gerimis yang cukup deras. Well, sometimes life gives you something when you’re expect nothing. Segera saya turun dari bus dan menuju toko buah yang ada di seberang jalan. Begini ini kalau kelupaan membawa buah tangan.
5 menit berselang. saya sudah sampai di lokasi. Bangunan ini masih sepi. Nampak sekali tak ada aktivitasnya. Saya mengucapkan salam, seorang bapak yang tidak saya kenal menghampiri dan mempersilahkan saya masuk.
“Ibu ada?” Tanya saya sembari merapikan pakaian saya yang hampir basah akibat gerimis tadi. Saya pun segera duduk di teras. Menurunkan barang bawaan dan menghembuskan nafas. Rasanya saya masih tidak percaya dengan apa yang saya lakukan sepanjang hari ini.
“Astaga… Mbak Indah ke sini sama siapa?” Ibu menghampiri saya. Segera saya mengucapkan salam, memeluk dan menciumi beliau. Saya jawab sendirian. Kami berdua bertukar kabar. Ibu memang sedikit kurang enak badan, begitupun juga bapak. Bapak memang sudah beberapa hari ini dilanda pusing yang cukup berkepanjangan. Kedatangan kali ini memang saya sempatkan untuk menjenguk keduanya. Sembari mengirimkan barang yang sempat teman saya titipkan untuk mereka. Ibu bercerita banyak, bagaimana hujan selalu turun belakangan terakhir ini. Tentang kegiatannya di toko, yang kemaren sempat ditemenin adek buat jualan. Tentang mas yang sempat pulang ke rumah untuk menghabiskan cutinya. Dan banyak hal yang beliau tuturkan. Rasanya damai sekali melihat senyum Ibu siang itu. Sehangat dan semanis teh yang beliau buat untuk saya.
“Kamu di mana? Udah sampai?” Seorang teman menanyakan itu via whatsapp. Memang tadi kami meninggalkan kos bersama-sama. Dia pulang, begitu pula dengan saya.
“Iya. Udah di rumah kok.” Saya tersenyum. Memang, saya sudah pulang. Bukankah setiap tempat yang menyediakan rasa nyaman dan tenang selalu bisa disebut rumah? 🙂
Selepas sholat dzuhur berjamaah bersama Ibu, saya mengobrol sebentar dengan Bapak. Kondisi Bapak memang sedikit lebih lemah jika dibandingkan dengan kondisi Ibu. Yang saya sukai saat berbincang dengan Bapak adalah, saya bisa bercerita banyak hal. Begitupun beliau. Saya banyak belajar dari pengalaman hidup melalui cerita beliau. Bapak tidak hentinya menanyakan angin apa yang membawa saya ke sini. Saya jelaskan lagi sesuai dengan apa yang sudah saya katakan pada Ibu. We need sacrifice something for someone we love, right? That’s why I did that. Saya rasa, semua orang juga sudah paham teori mengenai cinta. Apa yang saya korbankan sepadan kok dengan apa yang saya dapatkan. Saya tidak menyesal. Saya percaya, kesempatan memang tidak akan pernah datang dua kali. Kalaupun itu terjadi untuk kali ke-dua, maka nanti akan ada kali ke-tiga ataupun kali-kali berikutnya. Semoga.
“Mbak, jangan lupa pulang.” DA mengingatkan saya lagi untuk jangan lama-lama. Ah waktu memang cepat sekali berlari. Bapak menanyakan apa agenda saya selanjutnya. Saya pun bertutur kalau saya hanya mampir, kemudian langsung pulang ke rumah. Saya memberitahu beliau bahwa saya rencananya hanya sampai jam 2 siang di rumah Bapak. Takut kemalaman saya sampai rumahnya. Maklum, 5 jam memang bukan waktu yang singkat. terutama dengan perjalanan dengan menggunakan beberapa moda angkutan. Beliau tidak memaksa saya untuk tinggal lebih lama. Tidak seperti biasanya. Tapi Ibu masih menawarkan saya untuk beristirahat di kamar depan. Saya nyengir dan ngeles aja. Waktu yang sebentar itu saya habiskan dengan ngobrol dengan Bapak Ibu di depan televisi sembari nyemil buah naga.
Seberapa kuat saya menahan untuk memperlambat waktu, ternyata dia memang berjalan sebagai mana mestinya. Mau tidak mau saya harus melanjutkan perjalanan. Bapak dan Ibu telah membuat rumah tidak hanya sebagai rumah. Tidak hanya sebagai tempat berlindung dari teriknya matahari ataupun derasnya hujan maupun sarana pendukung aktivitas sehari-hari. Rumah yang mampu membuat saya merasa pulang, meskipun hanya sementara. Telepon genggam saya bergetar, menandakan ada sms masuk.
“Sudah dapet bus? Hati-hati ya. Semoga selamet sampe rumah. Aamiin aamiin.” Ah Bapak. Masih juga sama perhatiannya. Segera saya membalasnya.
Saya tidak pernah tau kapan akan kembali lagi ke sana. Tapi saya ingin. Semoga nanti semesta berkonspirasi mempertemukan kami lagi. Aamiin.