Seberapa sering kita mendengar? atau kita selalu hanya ingin didengar? Ada banyak hal di dunia ini yang lalu lalang, layaknya manusia yang seenaknya pergi dan (kadang juga tak) kembali, kata-kata pun kadang bisa saja hanya berlalu seenaknya.
Malang, Februari 2014
“Aku nunggunya di sini aja ya, Dit. Kamu fotokopi aja dulu. Hehehe.” Kata saya pada Adit sambil cengengesan.
Hari itu saya dan Adit rajin sekali. Belum ada pukul 10 pagi, tapi saya sudah nongkrong di kampus tercinta. Kegiatannya adalah menunggu dosen sebelum akhirnya cabut ke luar kota. Saya lebih memilih duduk santai di pos satpam daripada harus ikut Adit memfotokopi beberapa lembar bahan yang akan kami bawa pergi.
“Mbaknya dulu yang mau sekolah ke Jepang ya?” Seorang Bapak Satpam kampus tiba-tiba duduk di depan saya dan menanyakan hal itu. Saya sedikit kaget karena sebelumnya saya terlalu cuek dengan tidak memperhatikan sekeliling, sesampainya saya di pos satpam, saya langsung mengambil novel yang baru seminggu saya beli. Saya pikir, menunggu dosen akan lebih menyenangkan bila disambi dengan membaca. Ya kalo sudah megang buku rasanya dunia udah milik sendiri.
“Hah? Jepang pak? Ndak ih pak. Saya ndak sekolah ke Jepang.” Saya bertanya sembari menutup novel yang baru terbaca 10 halaman itu. Tidak etis rasanya saya diajak ngobrol sama orang tapi sayanya malah cuek.
“Terus sekarang sekolah di sini (di Universitas Brawijaya, red.) mbak?” Sembari menunjuk tumpukan bahan presentasi yang tengah saya bawa.
“Oh, ndak pak. Saya kan sudah lulus. Ini mau ada presentasi di Sidoarjo. Nungguin Bu Ismu.” Saya jawabnya sambil nyengir.
Hari rabu kemaren, memang ada agenda untuk presentasi proyek di luar kota. Berhubung perjalanan dinas kali ini bersama dosen, maka saya dan tim menjemput dosen saya di kampus. Kebetulan emang Bu Ismu lagi ada acara di Batu, jadi kami nungguin beliaunya dulu.
“Ndak mau sekolah lagi mbak? S2 gitu. Tapi bener lho mbak, saya ingat banget mukanya mbak. Dulu mbak bilang mau ke Jepang. Kenapa sekarang udah di sini aja.”
Lha ini bapak gimana to. Akhirnya saya menjelaskan lagi kalau saya itu sudah lulus S2nya. Saya memutar otak, berusaha mencari remah memori ataupun petunjuk di masa lalu. Saya adalah pribadi yang suka banget sekolah ato belajar, tapi tidak pernah terbersit sekalipun untuk belajar di Negeri Sakura tersebut. Sempat saya berpikir, jangan-jangan bapak ini -aduh, bodoh sekali saya bahkan tidak tau namanya- salah orang lagi. Saya sempat mengira yang diajak ngobrol adalah Dianing, temen dekat saya yang sekarang sudah berada di Negeri matahari terbit itu untuk menimba ilmu.Jepang.. Jepang… Astaga. Saya baru ingat. Urusan dengan Jepang-jepangan ini saya pernah bersinggungan di tahun 2011. Ketika saya sedang mengajukan aplikasi beasiswa untuk program master.
“Masa iya tahun 2011 saya bilangnya pak? Dulu saya sempat ikutan seleksi Dikti sih, Pak. Sempat dapat LoA buat ke Jepang dan Belanda.” Iya, saya sempat mengurus berkas untuk aplikasi beasiswa. Saya sangat ingin menimba ilmu di negeri bunga tulip, selain memang ada sekolah yang saya pengen banget masuk (Institut for Housing and Urban Studies, Erasmus University Rotterdam), saya sudah jatuh cinta dengan negeri oranye itu. Dengan kulturnya, dengan bangunannya, dengan panoramanya. Apalagi setelah membaca Novel Negeri Van Oranje, saya semakin menggebu-gebu. Berusaha mencari LoA dari IHS. oh dan tidak diduga saya pun juga dapat LoA dari Miyazaki University. Akhirnya dengan modal surat penerimaan dari 2 negara tersebut, saya pede mengikuti seleksi. Tentunya sesudah dengan perjuangan yang sangat panjang dan berdarah-darh. well, ini lebay. #abaikan
“… nah itu mungkin mbak. Bisa jadi. Mungkin mbak cerita ke saya ya pas itu. Saya saja masih ingat, masa mbak yang cerita sendiri malah lupa.”
Bapak satpam itu masih mesam-mesem. Kenangan mengenai beasiswa Dikti memang tidak akan mungkin saya lupakan. Gimana rasanya berpacu dengan waktu agar segala persyaratan terpenuhi dengan perjuangan hebat. Tapi sayangnya seleksi saya kemaren tidak saya lanjutkan. Berkas saya lolos seleksi administrasi -yang artinya saya bisa lanjut ikut seleksi wawancara-tapi tidak saya teruskan. Iya, saya berhenti di tengah jalan. Terpaksa. Karena Undip lebih dulu memanggil saya dan menyuruh saya segera berganti status menjadi mahasiswi MPWK.
Well, balik lagi ke masalah si Bapak tadi. Saya sadar akan 1 hal. Kadang apa yang menurut kita hanya sebatas obrolan biasa, buat orang lain itu bisa jadi merupakan obrolan yang berarti. Bapak itu mendengarkan dengan baik cerita saya, bahkan merekamnya dalam sebuah memori, yang bahkan saya sendiri tidak mengingatnya. Sebuah obrolan yang tidak sekedar berlalu masuk telinga kanan maupun telinga kiri.
“Ndah, Bu Ismu udah dateng ternyata. Yuk berangkat. Bu Ismu udah otw ke mobil kita.” Adit langsung mengajak saya ke parkiran mobil. Saya langsung pamit ke Bapak Satpam dan tersenyum manis sembari melambaikan tangan. Bapak itu ikut tersenyum, tersenyum ikhlas tanpa tergesa dan terpaksa.
Saya akan ingat obrolan kita pak. Saya akan ingat senyum itu.