Hari ini dimulai dengan kegiatan bongkar-membongkar kardus. Ini pun gara2 ada adek kelas yang meminta beberapa dokumen yang saya ingatnya ada dalam kardus. Memang sih, barang-barang saya memang saya taruh rapi dalam kardus. Itupun barang saya ketika masih di Malang. Masih tertata rapi dalam kardus. Sengaja memang tidak saya buka dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Disamping males menata lagi, saya tidak punya cukup waktu untuk menata ulang. Seingat saya memang kepulangan saya dari Malang hanya beberapa hari. Itupun cuman ngedrop beberapa kardus aja. Jadi kardus-kardus tersebut saya masukkan kedalam rak besar yang ada di ruang keluarga.
Dan pencarian dokumen akhirnya dimulai. Saya mulai membuka rak. Saya mulai membuka kardus. Kebetulan ada 3 kardus dalam rak itu. Ada beberapa hal menarik yang saya temukan dalam kardus-kardus tersebut.
- Di kardus yang pertama, saya menemukan kumpulan novel-novel yang pernah saya beli. Ada 9 matahari, ada padang bulan, ada tahajud cinta, the mistress of spices, negri van oranje, dsb. ada kotak kenangan berisi keplek-keplek pada masa ospek di Fakultas Teknik UB, beberapa klise foto, identity card baik berupa tanda peserta maupun panitia, frame foto, beberapa kertas kado, beberapa kado, beberapa kartu ucapan.
- Kardus kedua berisi beberapa buku pelajaran saat kuliah, buku memory, 3 buah buku diary lama, sketchbook dan bundelan beberapa gambar dari jaman SMA sampe kuliah, dan ada bindernote kumpulan kesan pesan sahabat2 saya dari SMA dan awal-awal kuliah.
- Kardus ketiga berisi buku-buku literatur, buku diktat, buku-buku grammar berbagai bahasa (saya memang dulu suka banget belajar bahasa secara otodidak, jadi saya sering membeli buku-buku jenis ini), buku-buku psikotest dan beberapa buku yang cenderung “berat” bahasa dan isinya.
Kegiatan bongkar-membongkar ini mengingatkan saya akan hidup. Kadang untuk memperoleh kebahagiaan hidup dan hidup yang lebih baik, hal yang butuh kita lakukan adalah moving on. Yah, pindah. Seperti apa yang sudah saya lakukan. Saya bermigrasi dari Malang ke Semarang. Dan kepindahan saya ini pun beralasan. Demi pendidikan dan demi hati. Untuk urusan pendidikan memang saya melanjutkan pendidikan meraih gelar master di Semarang. Alasan pendidikan ini pun sebenernya merupakan alibi dari kejenuhan akan rutinitas dan aktivitas saya di Malang yang menurut saya.. uhm.. sedikit menjemukan. Kalo untuk masalah hati, mungkin. hmm.. apa ya? Kepindahan ini untuk menetralisir perasaan yang tidak jelas terhadap seseorang selama beberapa tahun, merefresh hati dan mereset hati.. Kadang saya berpikir, time can heals the pain. Dan sesimpel itu. Jadi, demi pendidikan dan hati yang lebih baik, saya memilih pindah. Memilih pergi dari kota yang saya tinggali selama 5 tahun. Kota yang mengajarkan saya arti pertemanan, kehidupan, dan kebahagiaan.
Setiap kepindahan, pasti ada ritual tata-menata barang. Saya pun juga melakukannya. Menata barang-barang yang ada di kamar kos di Malang. Memilah barang. Mana yang harus dibawa pulang ke rumah. Mana yang akan saya bawa ke Semarang. Itu adalah kegiatan yang sangat menguras tenaga dan pikiran, dan mungkin juga sedikit hati. Memilah barang merupakan kegiatan eksekusi paling sulit. Memilih antara mana barang yang masih penting dan mana barang yang kurang atau bahkan tidak penting sama sekali. Dilema penting dan tidak atau kurang penting ini kadang berpapasan dengan keinginan. Mana barang yang masih ingin dibawa. Dan mana barang yang tidak ingin dibawa. Dan saya pun mengclusterkan barang-barang tersebut sesuai dengan “status” barang tersebut. Ada kardus “barang penting”, ada kardus “barang kurang penting”, ada kardus “tidak penting”, ada kardus “dibawa ke Semarang”, dan ada kardus “untuk diloakin”. Hasilnya adalah: apa yang sebutkan di atas tadi. Ada beberapa barang yang masih saya suka, saya kelompokkan dalam 1 kardus. Ada beberapa barang yang menurut saya masih penting, saya kelompokkan dalam 1 kardus. Begitu seterusnya hingga pada barang yang harus diloakin. Barang-barang tersebut masuk kardus sesuai dengan pertimbangan yang lama.
Kegiatan tata-menata barang dalam kardus ini pun juga bisa diterapkan dalam menata kehidupan. Tidak semua kenangan yang kita punya ini kita bawa terus. Ada kalanya, ada kenangan-kenangan yang butuh dikarduskan. Sesuai dengan apa yang kita inginkan. Ada kenangan yang harus kita bawa pulang, yang harus kita bawa terus, dan bahkan ada yang harus dibuang. Dan kenangan dalam kardus yang dibawa pulang, bisa saja kita membukanya lagi. Menatanya lagi. Mengingatnya lagi. Sama seperti hari ini, ketika saya membuka kardus. Banyak kenangan yang menyeruak di dalamnya. Terutama di kardus yang saya suka. ada barang-barang yang membawa saya ke beberapa waktu yang lalu. Beberapa tahun yang lalu. Saat saya masih kuliah di Malang. Saat saya masih SMA. Banyak! Ada kenangan tentang sahabat, ada kenangan tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan, ada kenangan tentang kebersamaan, dan masih banyak lagi.. kenangan yang bahkan mungkin tidak akan bisa dihapuskan, dan itu merupakan kenangan penting yang pernah saya eksekusi untuk dibawa lagi. Kenangan dan barang yang (dulu) saya pilih untuk saya rumahkan (saya taruh dirumah maksudnya). Dan yang saya lakukan hanyalah tersenyum. Ujung-ujungnya barang tersebut dikarduskan lagi. Ditaruh lagi ditempatnya. tidak akan pernah dibawa lagi.
Dan pada akhirnya, kita harus tegas pada diri kita sendiri. Terhadap apa yang mau kita karduskan. Kadang egois pada diri sendiri itu dibutuhkan dalam mengkarduskan sesuatu. Dan suatu hari nanti, barang dan kenangan tersebut masih bisa kita lihat. Masih bisa kamu kenang. Dan ketika pada saat itu tiba, kamu pasti akan tersenyum dan berkata, “saya sudah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan.”. sama halnya dengan apa yang saya rasakan pagi ini.